Selasa, 25 Oktober 2011

Diluncurkan, Program "PerpuSeru"!



JAKARTA, KOMPAS.com - Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI) meluncurkan program PerpuSeru, Senin (17/10/2011), di Jakarta. Program ini merupakan program pengembangan perpustakaan yang difokuskan pada penyediaan akses perangkat teknologi, pelatihan pengurus, serta advokasi bagi 40 perpustakaan umum di tingkat kabupaten di seluruh Indonesia. Dalam program ini, Bill & Melinda Gates foundation, melalui Global Library Initiative-nya, memberikan dukungan senilai 5 juta US Dollar untuk menyediakan akses belajar berbasis teknologi melalui perpustakaan.

Coca-Cola Foundation Indonesia sebagai pelaksana program akan memberikan pendampingan, advokasi, dan monitoring kepada perpustakaan umum yang ikut dalam program ini.

Kepala Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri Tarmizi A. Karim mengatakan, perpustakaan memiliki peranan yang penting dan strategis sebagai sumber informasi, sekaligus pemberi inspirasi bagi masyarakat dalam upaya mengembangkan dirinya.

“Masyarakat, khususnya generasi muda, tidak boleh melupakan pentingnya keberadaan perpustakaan. Program PerpuSeru merupakan langkah awal yang patut kita hargai, dimana inisiatif ini turut mendukung pemerataan teknologi, sekaligus memperkecil jarak ketertinggalan di tengah masyarakat. Upaya ini sejalan dengan pencapaian Prioritas Pembangunan Nasional, yang salah satunya di bidang Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri siap membantu dan memfasilitasi kelanjutan program ini, termasuk pengembangan model yang sama bagi pemerintah daerah lainnya," kata Karim dalam peluncuran PerpuSeru.

Pendaftaran program PerpuSeru ini akan mulai dibuka pada 17 Oktober hingga 23 Nopember 2011. Ke-40 perpustakaan kabupaten yang akan mengikuti program ini akan dipilih melalui tiga tahapan evaluasi selama dua bulan, termasuk di dalamnya evaluasi teknis awal, evaluasi lanjutan oleh PerpuSeru Advisory Group dan Coca-Cola Foundation Indonesia, dan evaluasi akhir oleh tim penjurian khusus ditambah dengan kunjungan lapangan.

"Kami gembira dapat bermitra dengan Bill & Melinda Gates foundation dalam program ini. Kami percaya, program ini akan mendorong masyarakat Indonesia untuk terus memaksimalkan potensi mereka. Masuknya teknologi serta akses komputer dan software baru ke dalam perpustakaan akan memberikan inspirasi serta memungkinkan masyarakat untuk terus belajar dan mengembangkan dirinya dalam meraih masa depan," kata Titie Sadarini, Chief Executive of CCFI.

Deborah Jacobs, Director of the Global Libraries Initiative at the Bill & Melinda Gates foundation mengatakan, pihaknya berharap dapat membantu masyarakat Indonesia dalam menyediakan peluang ekonomi, pendidikan, dan sosial yang lebih baik, yakni dengan memperluas akses informasi teknologi melalui sarana perpustakaan

"Kolaborasi" Pendidikan-Kebudayaan Harus Beri Harapan Baru

JAKARTA, KOMPAS.com - Kembalinya urusan kebudayaan di bawah naungan Kementerian Pendidikan harus memberikan harapan baru. Penggabungan ini harus ditekankan pada pembentukan karakter bangsa. Hal itu dikatakan sejumlah anggota Komisi X DPR asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Selasa (25/10/2011), di Gedung DPR, Jakarta.

Anggota Komisi X Reyhan Iskandar menilai, keputusan penggabungan pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementerian menunjukkan ada hal yang memang harus dibenahi.

“Kita mengalami semacam degradasi budaya. Dengan melihat karakter bangsa kita yang sudah mulai abu-abu, maka kebudayaan menjadi penting. Di sini bisa dilihat bahwa kita memang memiliki kegelisahan bersama,” ujarnya.

Akan tetapi, menurutnya, masih tersirat ketidaksiapan pemerintah untuk menggabungkan keduanya dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal itu, kata Reyhan, terlihat dalam paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, kemarin.

"Kami lihat belum ada kesiapan dari birokrasi itu sendiri perihal penggabungan pendidikan dengan kebudayaan ini. Stressing-nya apa? Kalau cuma pisah-pisah blok saja kan sayang,” ujar Reyhan.

Ia mengungkapkan, di negara-negara lain, kebudayaan menjadi ranah kementerian tersendiri. Pemisahan ini dimaksudkan agar dapat mengedepankan jati diri bangsa melalui kebudayaan dan menumbuhkan karakter bangsa melalui budayanya sendiri.

“Saya khawatir yang dimaksudkan dengan budaya ini masih ada warna pariwisata, bukannya membingkai karakter bangsa. Pemerintah harus concern dengan masalah karakter bangsa ini.  Saya berharap dari penggabungan ini, pendidikan menawarkan sebuah harapan adanya perubahan karakter bangsa menjadi lebih baik,” kata Reyhan.

Sementara itu, anggota Komisi X asal Fraksi PKS lainnya, Rohmani menambahkan, penambahan tugas Kementerian Pendidikan seharusnya juga tak perlu diikuti dengan penambahan wakil menteri baru yang khusus membidangi kebudayaan. Seperti diketahui, Presiden SBY menunjuk satu wakil menteri baru untuk mendampingi Mendikbud.

“Pemborosan kalau satu wakil menteri membahwahi satu dirjen saja (kebudayaan). Jika memang polanya seperti itu, sebaiknya tidak usah ada Wamen Kebudayaan, cukuplah satu Wamen saja,” tambah Rohmani.

Menua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan.

MENUA ITU PASTI, TAPI MENGUAT ADALAH HASIL KETEGASAN.

Ada dua teman sekolah saya di SMA dulu, yang hari ini memimpin kehidupan yang sangat berbeda kualitasnya.

Yang satu hidupnya mapan, ceria, sejahtera, dan banyak sekali yang dilakukannya; sedangkan yang satu lagi masih tak jelas pekerjaannya, dan hidup bersama istri dan empat anak-anaknya – di rumah mertuanya.

Kami bertiga seumur, menua bersama dari sejak SMA, tapi menjadi orang-orang tua dengan kualitas hidup yang berbeda.

Ternyata, jadinya orang bisa diduga dari sikapnya saat muda.

Teman yang berhasil itu saat di bangku sekolah memang tidak begitu cerdas (slow to understand - seperti saya, he he ..), tapi mudah bergaul, selalu berharapan baik, mau mencoba apa pun untuk melihat apakah dirinya bisa, dan tetap tekun mencoba lagi walau gagal beberapa kali.

Seperti saya, dia bersedih jika gagal, tapi sebentar kemudian tertawa terkekeh-kekeh mengenai kebodohannya. Dan kami pun masih seperti itu sampai hari ini.

Sedangkan teman yang masih tinggal di rumah mertuanya itu (yang mencari uang adalah istrinya) sesungguhnya lumayan cerdas, tapi sejak muda memang pengeluh yang nyebelin.

Jawaban standar darinya untuk apa pun adalah “Males ah!,” menolak melakukan apa pun yang merusak kenyamanannya, selalu mengatakan “Rezeki orang khan beda-beda,” dan jika dinasihati oleh guru untuk belajar lebih rajin – dia selalu menjawab “Kemampuan orang khan ada batasnya Bu?”

Dan sebagai suami, dia selalu bilang: " Aku bisanya hanya ini, habis … mau gimana lagi?" Dan sama sekali tidak malu menonton sinetron di siang hari saat istrinya bekerja.

Kelihatannya, kecerdasan yang secemerlang apa pun tidak akan berguna bagi orang yang sikapnya negatif.

Karena memang, sikap negatif adalah PENGURANG kualitas hidup.

Kelihatannya juga, kelemahan apa pun yang digunakan dengan sabar dan penuh syukur akan menghasilkan kualitas hidup yang baik.

Karena sudah pasti, sikap positif adalah PENINGGI kualitas hidup.

Adik-adikku yang baik hatinya,

Janganlah menggunakan hidupmu yang hanya satu kali itu untuk membuktikan bahwa kakakmu ini salah, bahwa sikap negatif tidak akan menjadikanmu orang yang sudah tua tapi lemah hidupnya.

Semua kesalahan masa kanak-kanak yang tetap dipertahankan sebagai sikap negatif sampai masa muda, akan menghasilkan masa tua yang lemah.

Jangan menolak tuntunan kebaikan.

Karena, tuntunan kebaikan itu disusun dari pengalaman berpuluhan abad bahwa keburukan hanya memburukkan, dan bahwa hanya kebaikan yang membaikkan.

Bersabarlah dan syukurilah kemampuan apa pun yang sudah ada padamu, lalu bergeraklah maju dari itu.

Menua itu pasti, tapi menguat adalah hasil ketegasan.

Salam sayang dari Ibu Linna dan saya,

Mario Teguh
Senin, 24 Oktober 2011

Tidak ada orang yang bisa berlaku sombong kepada Tuhan saat dia sakit.

Saat kita sakit adalah saat yang indah untuk merasakan kerendahan hati.Tidak ada orang yang bisa berlaku sombong kepada Tuhan saat dia sakit.

Dan saat kita dicengkeram oleh penyakit, mudah sekali bagi kita untuk merasa bahwa harta, kedudukan, dan nama besar - semuanya tak berarti tanpa kesehatan, dan tak ada tempat mengadu dan memohon pertolongan selain Tuhan.

Tapi saat orang merasa sehat - harta, kedudukan, dan ketenaran dengan mudah mengkhilafkannya dari pentingnya kesehatan, dan menaruh Tuhan di belakang daftar prioritasnya.

Marilah kita hidup dengan baik, dalam kasih sayang kepada keluarga dan sesama, mensyukuri kesehatan, dan damai dalam kedekatan yang mesra dengan Tuhan.

Mario Teguh - Loving you all as always

Mencetak Generasi Unggul Ala Jepang

Kekeliruan dunia pendidikan kita selama ini terletak pada ketidakmampuan para pakar pendidikan, pendidik, bahkan pengambil kebijakan untuk mencetak generasi unggul. Generasi ini punya ciri kreatif, perekayasa, pencipta, dan bersikap atau bertingkah laku teladan. Selain berbudi pekerti luhur, generasi unggul dalam kehidupan keseharian dicirikan peduli sesama, menghargai pendapat orang lain, tertib, jujur, disiplin, bertanggung jawab, penuh kasih sayang, cinta kebersihan, keindahan dan lingkungan serta concern terhadap perdamaian.


Sayang seribu sayang, dunia pendidikan kita tampaknya masih terfokus mencetak "generasi pintar". Generasi ini lebih mengutamakan pencapaian prestasi program belajarnya dengan sasaran "mengejar ranking atau nilai NEM (nilai evaluasi murni) dan UN (ujian nasional) tinggi" atau menjadi juara lomba mata pelajaran tertentu.

Indonesia banyak melahirkan sederet juara olimpiade internasional, baik di bidang pelajaran matematika, sains, fisika, kimia maupun olahraga. Pertanyaannya, dengan mencetak generasi yang bertumpu pada logika (otak kiri) itu, apa yang bisa diharapkan demi kemajuan bangsa ke depan? Kita lupa, bangsa yang dibangun hanya dengan mengandalkan ilmu, tanpa bekal kreativitas dan moral, hanya akan menghancurkan bangsa itu sendiri.

Menurut penelitian mutakhir di AS, peran logika bagi sukses seseorang hanya 4%. Selebihnya (96%) sukses seseorang ditentukan oleh kemampuan "otak kanan" yang punya andil besar dalam hal kreativitas, imajinasi, inovasi, daya rasa, kreasi, seni, kemampuan mencipta dan merekayasa. (MI, 16/1'06) Kemampuan otak sadar manusia sendiri sebenarnya hanya 12% dari seluruh kemampuan otak manusia dan selebihnya (88%) berada di otak bawah sadar, tepatnya di otak kanan. (Quantum Ikhlas, 2007).

Inilah rahasia bangsa Jepang, Korea, China, Singapura, dan negara-negara Barat hingga menjadi bangsa maju. Belakangan hal itu mulai diketahui dan disadari pula di India, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia? Barangkali baru sebagian kecil orang memahami pentingnya pengembangan peran otak kiri bagi sebuah sistem pendidikan.

Ironis, di tengah bangsa-bangsa lain makin aktif mengembangkan model pendidikan ke arah yang lebih baik, Indonesia justru masih berkutat pada berbagai masalah kompleks. Waktu, pikiran dan tenaga kita seolah terkuras hanya untuk membahas masalah pemberantasan korupsi, karut-marutnya pelayanan publik dan masalah birokrasi yang berbelit.

Apa yang salah dengan pendidikan kita? Bukankah sejak duduk di kelas TK, SD, SMP, dan SMA siswa-siswi selain diajarkan beberapa pelajaran umum dan khusus juga tak ketinggalan selalu dicekoki pelajaran agama dan kewarganegaraan? Suasana religius pun selalu melingkupi keseharian anak-anak Indonesia. Khotbah-khotbah agama tak hanya dilakukan di tempat-tempat ibadah, namun juga di televisi, lingkungan kerja dan masyarakat.

Ini bertolak belakang dengan kehidupan nyata masyarakat kita, yang justru kurang mencerminkan nuansa kehidupan agamis. Budaya tertib dan bersih, yang diyakini sebagai bagian dari iman, terabaikan. Tatanan kehidupan masyarakat secara umum pun tidak menunjukkan kebajikan dan keteraturan.

Pelanggaran lalu lintas merupakan hal yang biasa. Budaya antre dan sopan-santun dianggap angin lalu. Kepedulian masyarakat terhadap kebersihan dan lingkungan, rendah. Banyak orang masih membuang sampah sembarangan, sementara fasilitas umum kotor dan bau. Di lain pihak, kasus-kasus perusakan lingkungan dan kriminalitas jalanan selalu menghiasi media massa setiap hari.

Dari pengalaman ketika berkunjung ke Jepang dan mencermati secara seksama sekolah dasar di negeri Sakura ini, terlihat pembiasaan sikap disiplin dan tingkah laku bermoral telah ditanamkan sejak siswa mulai masuk sekolah. Meski tak dibekali pelajaran agama, tatanan kehidupan masyarakat Jepang nyatanya lebih mapan, tertib, bermoral.

Begitu anak didik memasuki lingkungan sekolah, mereka harus rela dan sabar melepas sepatu untuk ditukar dengan sandal/sepatu khusus yang sudah disediakan di loker-loker. Ketika siswa hendak ke toilet, sandal/sepatu yang dikenakannya pun masih harus ditukar lagi dengan sandal khusus toilet yang terparkir rapi di depan pintu toilet. Ingat, usai memakainya, siswa harus mengembalikannya ke posisi semula untuk memudahkan rekan lain yang akan menggunakan selanjutnya. Meski kelihatannya sepele, namun pembiasaan-pembiasaan ini dapat menumbuhkan kesadaran pada siswa untuk bersikap sabar, bertanggung jawab, menghargai orang lain, hidup bersih dan selalu menjaga kesehatan tubuh.

Di dalam kelas sendiri, anak-anak Jepang sudah dibiasakan melayani teman-teman sekelasnya dengan menyajikan makanan secara bergiliran. Pembiasaan ini untuk menanamkan kesadaran anak-anak agar tertib, disiplin, menghargai budaya antre, rajin, penuh kebersamaan dan peduli sesama.

Di kelas-kelas sekolah Jepang banyak dipajang hasil karya siswa, baik di dinding maupun di atas rak-rak tempat tas siswa. Coraknya beraneka ragam, mulai dari karya dari barang-barang bekas dengan disain robot, mobil, dan bangunan tinggi hingga bentuk-bentuk karya lainnya yang lebih rumit.

Pembiasaan memamerkan hasil cipta karya siswa, merupakan momentum bagi siswa untuk meraih cita-cita. Lewat karya-karya tersebut, anak-anak Jepang kelak diharapkan bisa menjadi perakit mobil, robot, arsitek gedung-gedung bertingkat dan pencipta alat-alat canggih lainnya hingga menjadi kebanggaan bagi bangsanya.

Memang, kemampuan untuk berkreasi mendapat porsi besar dalam sistem pendidikan di Jepang. Sejak dini kemampuan dan kreativitas siswa digali sebesar-besarnya demi disiapkan sebagai tenaga terampil penuh kreativitas di bidang masing-masing di masa depan.

Falsafah Jepang mengatakan, "Anak-anak adalah harta karun negara". Nasib bangsa masa depan diyakini ada di pundak anak-anak mereka. Maka, negara selalu memperlakukan istimewa anak-anak Jepang, baik dibidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun perkembangan emosionalnya. Sistem pendidikan nasional Jepang pun lebih diarahkan demi kemajuan anak-anak bangsa ke depan.

Apakah kita akan terus membiarkan sistem pendidikan ini lebih bertumpu pada logika, tanpa mengutamakan penggalian kemampuan dan kreativitas seperti anak-anak Jepang? ***

Oleh Arman Andi Amirullah
Kamis, 8 Mei 2008 ( Suara Karya )
Penulis adalah staf Direktorat Pembinaan TK dan SD,
Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas.


---------------------------------------------------------------


http://re-searchengines.com/arman1208.html

Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).


Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.


Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.


Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.


Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).


Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.


Nilai

Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).


Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.


Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.


Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.


Fungsi

Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).


Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.


Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.


Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.


Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.


Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.


Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.


Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.


Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta

 

-------------------------------------------------------------------

http://re-searchengines.com/nurkolis5.html

Info Muda Mendunia

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.