Kunci Surga Untuk Prajurit Kecil
Sabtu, 11 November 2011
“Ketika hidup hanya untuk meminta tanpa mau memberi, sebenarnya saat itu kita tidak hidup, melainkan telah mati sebelum kematian itu datang. (Agus Arifin)
Teman, jika kemarin engkau telah membaca tulisanku “ Senyum Malu Itu Benar-Benar Ada”, sekarang kan kuceritakan padamu tentang salah satu aktifitasku sebagai Pengajar Muda di Bumi Mandar Tatibajo. Selain menyiapkan metode dan bahan ajar untuk persiapan mengajar keesokan harinya di sekolah, mengajar mengaji, adalah salah satu aktifitasku tatkala malam telah tiba menawarkan kesunyian. Lampu mushola yang tak begitu terang selalu setia menemaniku. Aktifitas itu nyaris setiap hari kujalani mulai dari pukul 18.25 s.d 20.00 WITA, hanya libur ketika hari Kamis Tiba. Jumlah murid mencapai 30 anak dan dengan tingkatan yang berbeda untuk masing-masing anak, ternyata cukup membuatku kewalahan. Syukurlah aku tak sendiri, ada imam mushola yang membantu meringankan pekerjaanku. Meski usianya tak lagi muda, bagiku kehadirannya cukup menjadi pemompa semangatku. Sebagai bentuk penghormatanku kepadanya, aku biasa memanggilnya dengan sebutan pak Imam. Orang-orang biasa memanggilnya bapaknya Ical, karena beliau memiliki anak pertama yang bernama Ical. Begitulah budaya Mandar, seorang laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak, biasa dipanggil bukan dengan nama aslinya melainkan dengan meminjam nama anaknya.
Pengalaman yang akan kuceritakan ini adalah pengalaman yang baru saja ku alami beberapa menit sebelum kuputuskan untuk menulisnya. Suhingga aku jamin bahwa cerita ini benar-benar masih sangat fresh. Ibarat nasi, masih panas. Ibarat buah, masih segar baru dipetik dari pohonnnya. Tak ada sedikitpun niat menggurui apalagi menyombongkan diri, tidak ada, sungguh tidak ada.. yang ada hanyalah niat untuk berbagi inspirasi dan kebahagiaan, karena kebahagiaan sejati bukanlah ketika kita dapat berbahagia seorang diri, melainkan ketika kita mampu menularkan kebahagiaan itu, hingga membuat orang lain pun merasakan bahagia. Dari hati kecil ini, hanya terbersit sebuah harapan, semoga dari sekian banyak temanku yang membaca, paling tidak ada satu hati yang terinspirasi.
“Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh..” “wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh..” jawaban itu terdengar serentak menggetarkan seluruh penjuru mushola. “Baiklah anak-anak, malam ini kita akan belajar menghafal Qur’an Surah At-Takatsur ayat 1-8 sekaligus bapak juga akan menjelaskan terjemahan dari surah tersebut, bagaimana anak-anak siap?” Siaap”..jawaban serentak kembali terdengar membahana, memecah kegelapan malam yang berusaha menawarkan kesunyian. “Baiklah anak-anak ikuti bapak ya“ Bismillahirrohmanirrohim...Alhakumuttakatsur...” Bismillahirrohmanirrohim...Alhakumuttakatsur...” balas mereka dengan penuh semangat mengikuti bacaan demi bacaan yang kukumandangkan. Ayat demi ayat kubacakan, lengkap dengan terjemahan dan penjelasannnya. Aku tak berani menyebut itu tafsir, karena kucukup tahu diri, bahwa aku bukanlah seorang ahli tafsir. Aku hanya berusaha menjelaskan dengan bahasa anak-anak agar mereka memahami apa yang mereka baca. Agar mereka tak hanya membaca dan menghafal tanpa makna yang melekat dalam hati.
Qur’an Surah At-Takatsur, intinya bercerita tentang orang-orang yang lalai dan tentang alam kubur. Anak-anak terlihat serius menyimak kata demi kata yang keluar dari mulutku. Kuceritakan secara detail tentang kehidupan di alam kubur. Tak lupa kuceritakan pula kehidupan di surga dan neraka. Saat kuceritakan tentang surga, senyum bahagia bercampur takjub menghiasi wajah mereka. Namun saat cerita tentang neraka mulai ku buka, dahi mereka mulai mengkerut, wajah mereka mulai berubah, pertanda bahwa ketakutan dan kekhawatiran mulai menghantui mereka. Tak hanya anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, dan para pemuda pun ikut menyimak ceritaku dengan sangat serius. Aku pun heran, tak biasanya mereka berkumpul di depan pintu dan mengintip dari lubang-lubang jendela dalam jumlah sebanyak itu, sampai berjubel di depan pintu. Biasanya hanya dua sampai tiga orang ibu yang mengawasi anaknya tatkala mereka sedang mengaji. Kebetulan jarak rumah warga dengan mushola sangat berdekatan, jadi mungkin saja suaraku terdengar sampai rumah mereka, sehingga mereka berdatangan ke mushola. Apalagi aku sengaja lebih mengeraskan suaraku, agar anak-anak dapat mendengar dan memahami apa yang kusampaikan. Melihat fenomena itu, timbul ide di kepalaku untuk mengaitkan semua cerita yang telah kusampaikan sebelumnya dengan perintah untuk sholat lima waktu. Ini menjadi penting untuk dibahas, karena di Tatibajo hampir semua orang tua tak pernah sholat 5 waktu. Hanya sedikit orang saja yang menjalani sholat, jumlahnya pun tak sampai 5 Orang. Aku berani mengatakan itu, karena aku belum pernah melihat orang-orang di sana melaksanakan sholat selain hari jumat dan hari raya.
“ Anak-anakku untuk masuk surga itu ada kuncinya, jadi nggak bisa sembarangan masuk. Mau tahu apa kuncinya? Mauuu..”jawab mereka serentak. “Kunci masuk surga itu sholat 5 waktu. Jadi yang sholatnya masih bolong-bolong gak bisa tuh masuk surga. Makanya harus rajin sholat 5 waktunya. Setuju?” Sepakat..” sepakat? Setuju” Jawab mereka dengan wajah penuh semangat. Oh iya bapak ingin tambahkan lagi cerita tentang surga. Di surga itu semuanya ada. Kalian ingin mainan tinggal sebut saja, kalian ingin makanan enak tinggal sebut, kalian ingin minum susu, langsung ngalir sungai susu saat itu juga”. Wuaah, klo ingin televisi pak, apa bisa?” tanya mereka penasaran sambil terkagum-kagum. “wah kalau cuma televisi ya bisa sekali..” Kulihat wajah-wajah polos yang lebih takjub dari sebelumnya. “ Tak hanya itu, di surga kalian nanti akan jadi lebih cantik dan ganteng saat angin surga berhembus menyentuh tubuh kalian. Hayoo, siapa yang pengen masuk surga?” Saya pak..” jawab mereka sambil berebut mengacungkan tangan. Ah..damai hatiku melihatnya..pertanyaan-pertnyaan dan tingkah laku polos mereka lah yang sering membuatku tersenyum bahagia dan menjadi penghibur tatkala rasa rindu pada keluarga dan teman-temanku datang tiba-tiba.
“Saya juga mau masuk surga pak Arif..!” Suara itu datang tiba-tiba dari arah pintu masuk mushola. Seorang ibu setengah baya dengan dandanan menor ala Inul Daratista, wajahnya putih tapi kulit lengannya cokelat, pertanda bahwa bedak yang dipakai sangatlah tebal. Sang ibu dengan semangatnya mengacungkan tangan, seakan tak mau kalah dengan anaknya yang ikut mengaji bersamaku. “Oh ibu mau masuk surga juga..? Wah Bisa bu...tapi ada syaratnya. Sambil tersenyum kecil, kuhadapkan wajahku ke arah anak-anak yang duduk melingkar di hadapanku, “syaratnya apa anak-anak? “Sholat Lima Waktuuu..!” suara itu terdengar keras namun tetap seirama. Ya, suara yang membuatku bangga sekaligus bahagia tatkala mendengarnya. Kulihat sang ibu tersenyum malu. Keunikan tak berhenti sampai di situ, tepat ketika adzan isya’ akan dikumandangkan, seorang anak bernama Rudi, salah satu muridku yang masih duduk di kelas VI, atas inisiatifnya sendiri tiba-tiba mengambil microfon dan berkata “ Orang tua ayo sholat lima waktu, ayo sholat lima waktu...!” khas dengan logat Mandarnya. Walau sedikit nekad, tapi tak apa, aku tetap bangga dengan semangat dan keberaniannya. Anak-anak yang lain juga tak kalah semangatnya. Saking semangatnya, sampai-sampai mereka berebut untuk melaksanakan adzan dan iqomat. Keputusan siapa yang adzan dan iqomat pun ditentukan lewat ‘hompimpa alaihom gambreng.” Siapa yang menang, dialah yang adzan dan iqomat. Kali ini muridku, Sapar pemenangnya. Dia girang bukan kepalang. Bagai orang yang baru saja menemukan harta karun atau mendapatkan warisan yang melimpah. Senyum kecil pertanda puas, bahagia dan bangga mengembang di wajahku. Kuhela nafas panjang, “Anakku, semoga semangat kalian, terus berkobar tak padam oleh waktu. Semoga semangat kalian juga kan menular pada orang tua kalian. Ah, rasanya aku mulai menemukan sisi lain dari kalian. Sisi lain yang menjadikan kalian pantas untuk kubanggakan. Sisi lain yang membuatku semakin menyayangi kalian, Prajurit-Prajurit Kecilku . (Arif)
Kartu Kepribadian...(Jurus Ampuh Menghadapi Anak "Nakal")
“Disaat orang lain menganggap sesuatu yang kau lakukan tak mungkin berhasil, maka tetaplah maju dan jangan pernah berfikir untuk mundur walau selangkah saja. Karena pasti Tuhan akan memberikan jalan yang mungkin kau pun tak pernah menduga, saat kesulitan yang engkau hadapi benar—benar berada dalam puncaknya”
Kamis, 24 november 2011-11-25
Pagi ini masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Kuayunkan langkahku menuju sekolah, walaupun ku tahu tak akan ada guru yang datang sepagi ini. Tapi biarlah, ku tetap niatkan untuk berangkat. Biarlah langkah kecil ini kan mengukir sebuah kata yang tak banyak orang memahaminya. Ya, sebuah kata yang akan memberikan efek luar biasa tanpa harus banyak ucapan yang keluar dengan sia-sia. Satu kata itu sangat dekat dengan kita, namun sering kali kita acuh terhadapnya. Ya...dialah keteladanan. Sebuah kata yang sederhana, namun sulit untuk dilakukan. Sebuah kata yang seharusnya menjadi kepribadian para pemimpin di negeri ini.
Mentari yang tadinya masih ragu untuk muncul, kini terlihat kokoh dan yakin memamerkan sinarnya kesana-kemari. Sinar itu pun tertangkap pepohonan yang berdiri kokoh di depan sekolah. Anak-anak tampak tak peduli dengan urusan sinar-sinar itu. Mereka terlihat asyik dengan permainan mereka. Ada yang berlari kesana-kemari, main bola, atau main lompat tali bagi yang perempuan. Sementara aku masih berfikir keras mencari ide tambahan untuk kubawa sebagai bahan ajar di kelas nanti. Syukurlah, ide yang kunanti-nantikan akhirnya muncul juga. Segera kuambil kertas warna,dan kemudian kugunting menyerupai bentuk kartu remi sebanyak 7 buah, karena jumlah muridku di kelas IV memang hanya 7 anak. Tak masalah, walau hanya 7 tapi semangatnya tak bisa dianggap remeh, setara dengan 21 anak. Tak berapa lama, guntingan kertas itu pun selesai. Kutulisi kartu itu satu persatu dengan macam-macam sifat terpuji. Ada sopan, rajin, baik hati, sabar, penolong, jujur dan pemberani. Karena itulah aku menyebutnya dengan nama “Kartu Kepribadian”.
Bel tanda masuk telah kubunyikan. Kuayunkan langkahku menuju ruang kelas IV yang tak jauh dari ruang guru. Hanya berjarak belasan meter. Keyakinan tingkat tinggi tetap menghiasi fikiranku, bahwa cara yang akan coba kupraktekkan ini akan berhasil. “Baiklah anak-anak, pagi ini bapak punya permainan untuk kalian”. “Horeeeee....”balas mereka serentak sambil tepuk tangan. Kebetulan jumlah mereka kali ini hanya 5 anak. Ada dua anak lagi yang tidak masuk sekolah karena membantu orang tuanya di kebun. Di sini adalah hal yang biasa, anak tidak masuk sekolah hanya karena ke kebun dan ke pasar membantu orang tuanya, atau juga menjaga adiknya di rumah. “Ada yang tahu ini apa?”tanyaku sambil menunjukkan kertas berbentuk kartu remi di tanganku. “Kartuuuuuuuu”jawab mereka serentak. “Baik anak-anak, dalam kartu ini sudah bapak tuliskan beberapa macam sifat baik yang harus kalian miliki. Bapak menyebut kartu ini sebagai kartu kepribadian. Bapak menyebutnya apa anak-anak? Tanyaku mencoba memastikan bahwa mereka menangkap apa yang kukatakan. “Kartu Kepribadiaaan” jawab mereka.“Permainannya begini, pertama bapak akan mengocok kartu ini, sementara kalian pejamkan mata dan ambil kartu ini satu per satu. Jangan sekali-kali membuka mata sebelum bapak minta untuk membuka mata. Ok?..Bagaimana anak-anak, siap untuk bermain?” Siaaaaap,” Kelas IV?” Akuuu pasti JUARAAAAA!” teriak mereka bersemangat lengkap dengan gerakan yang telah kuajarkan pada mereka.
Satu per satu kartu Kepribadian telah berada di tangan mereka. “Oke anak-anak, kalian telah mendapatkan kartu yang di dalamnya tertulis sifat-sifat terpuji. Nah, sekarang bapak tantang kalian untuk mempraktekkan sifat itu paling tidak mulai dari sekarang sampai nanti malam saat kalian tidur. Kalian sendiri yang memilih kartu itu, maka kalian jugalah yang harus bertanggungjawab untuk mempraktekkan sifat yang tertulis dalam kartu itu. Bapak yakin anak-anak Tati Bajo adalah anak-anak yang baik dan bertanggung jawanb. Anak-anak Tati Bajo adalah anak yang hebat. Wahai anak-anakku, banyak orang menyebut kalian anak-anak gunung. Mereka bilang anak gunung itu nakal, anak gunung itu tak bisa diatur, anak gunung itu tidak sopan. Biarkanlah mereka berkata begitu, tak perlu kalian dengarkan, yang pasti hari ini kita akan buktikan kepada mereka, bahwa apa yang mereka katakan itu salah. Kalian adalah anak-anak yang baik, kalian anak-anak yang semangat belajar demi meraih cita-cita, itulah sebabnya bapak selalu bersemangat mengajar kalian Ingatlah...tak boleh ada satupun orang yang memandang rendah kalian, karena kalian tak pantas untuk direndahkan. Jika ada orang yang berani menghina kalian, maka percayalah wahai Prajurit Mimpi (julukan untuk mereka), bapaklah orang pertama yang akan membela kalian, karena kalian adalah murid-murid kebanggaan bapak,, bapak yakin kalian bisa berubah menjadi anak-anak yang baik, jika kalian mau berusaha. Hari ini, kalian harus bertekad untuk membuang sifat-sifat buruk kalian satu per satu dan menggatinya dengan sifat-sifat yang baik....Siap menerima tantangan dari bapaaak?” tanyaku mencoba mengobarkan semangat mereka. “Siaaaaaap!"jawab mereka dengan raut wajah penuh semangat dan mata berkaca-kaca. Kusematkan satu per satu “Kartu Kepribadian” itu di kerah depan baju mereka. Semoga ini menjadi langkah kecil yang menjadi awal perubahan besar dalam hidup mereka. “Tinggal kita lihat hasilnya saja”pikirku.
Waktu istirahat pun tiba. Jam menunjuk tepat angka 10. Sengaja aku duduk santai di depan ruang guru. Kuperhatikan segala tingkah polah anak-anak, khususnya anak-anak kelas VI yang terlihat bangga karena memakai kartu kepribadian di bajunya. Aku hanya ingin tahu, apakah kartu itu cukup memiliki efek atau tidak bagi mereka. Subhanallah, apa yang kulihat kali ini benar-benar ajaib. Rahman muridku yang biasanya sangat temperamen, kali ini ketika salah seorang teman menendang kakinya disaat main bola, dia sama sekali tak membalasnya, bahkan dia bersedia memaafkan temannya itu. Sebenarnya kulihat awalnya dia ingin marah, tapi salah seorang temannya menunjuk kartu yang tertempel di kerah bajunya, berusaha mengingatkan Rahman tentang kartu “Baik Hati”, sehingga sekuat tenaga Rahman berusaha menahan amarahnya” Lucu sekali, tapi aku suka itu. Selain Rahman, ada lagi yang tak kalah uniknya. Sugiyono yang saat itu mendapatkan “Kartu Penolong”, kuperhatikan dia mulai berubah benar-benar menjadi anak yang penolong, Mulai dari mengambilkan saya minum sampai membantu temannya memahami pelajaran Matematika telah dilakukannya. Padahal sebelumnya, anak itu tergolong anak yang individualis. Di tengah kesibukannku memperhatikan tingkah polah anak-anak di lapangan, tiba-tiba beberapa anak kelas 5 datang menghampiriku. “Pak Ariif, kami juga mau lah pak dikasih tulisan-tulisan seperti kelas IV” pinta mereka sedikit merengek. “Kalian juga mau? Oke nanti bapak buatkan ya”...Yeeee” sambut mereka penuh suka cita. “Yes...Hari pertama sukses besar untuk sebuah awal perjalanan “Kartu Kepribadian” pikirku. Tinggal menunggu hari-hari selanjutnya. Semoga memang menjadi awal perubahan yang manis untuk mereka. Agar mereka tak lagi dipandang sebelah mata. Agar orang tua mereka pun tak malu dan bahkan bangga menyebut mereka sebagai anak-anaknya (arif).



Benarkah di Ruangan Ini Ada Udara?
Hari masih gelap, belum terdengar suara Anjing menggonggong. Kudengar suara langkah kaki di lantai papan yang semakin lama semakin mendekat. “Ana cari apa, pagi-pagi begini sudah bangun?”, rupanya mamak terbangun dari tidurnya karena mendengar bunyi gaduh di dapur belakang akibat ulahku. Aku sedang mencari alat-alat dapur yang bisa kujadikan alat peraga untuk pelajaran IPA siang nanti. Tidak banyak yang kubutuhkan, tidak sulit pula untuk mendapatkannya karena semuanya telah tersedia di dapur ini: satu gelas, satu kotak makan, satu mangkuk dan satu botol yang semuanya transparan.
Pelajaran IPA untuk pertemuan hari ini ingin kuisi dengan praktikum. Aku ingin anak-anak tidak hanya mendengarkan teori dan berandai-andai tentang bagaimana teori tersebut dibuktikan. Aku ingin mereka membangun pemahaman konsep dari apa yang mereka lakukan, amati dan mereka buktikan sendiri. Semua peralatan sederhana telah berhasil kusiapkan. Lembar kerja pun sudah ku-copy-kan. Berbekal satu ember berisi air parit yang diambilkan oleh salah satu murid, aku masuk kelas dengan wajah sumringah.
“Coba tebak, apa yang akan Ibu lakukan dengan air ini!”. Semua mengerutkan kening. Mereka mencoba menerka apa yang kira-kira akan kulakukan dengan semua peralatan yang kubawa.
“Air kan benda cair Bu!”
Aku terkesima ketika salah seorang muridku mencoba menebak dengan jawaban mendekati topik pelajaran yang akan dibahas hari ini. “Ya, kita akan belajar tentang sifat-sifat benda cair, gas dan benda padat”, paparku sambil membagikan lembar kerja. “Nah anak-anak, sebelum kita mulai praktikum, Ibu minta tolong dua meja paling depan ini disatukan dulu”, murid kelas ini jumlahnya sedikit dan semuanya suku asli. Kelas kecil semacam ini membuatku leluasa untuk menerapkan kurikulum individu pada saat teori dan tidak perlu membagi kelompok pada saat praktikum (kecuali jika dibutuhkan), alat peraga yang perlu kusiapkan pun cukup satu set. Anak-anak segera melaksanakan arahanku, nampaknya mereka ingin segera tahu apakah gerangan yang akan kami lakukan pada pertemuan ini.
“Perhatikan petunjuk pada kertas yang sudah Ibu bagikan! Alat dan bahan apa saja yang perlu disiapkan?”. Mereka pun menyebutkan alat dan bahan yang dibutuhkan, kemudian segera meletakkan di atas meja yang sudah mereka siapkan tadi. “Lalu apa yang hendak dilakukan dengan alat-alat ini Bu?”, mereka terlihat bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku tidak tahu sebelumnya mereka pernah melakukan praktikum atau tidak, tapi antusiasme dan minat belajar mereka terlihat sangat tinggi ketika diajak belajar sambil mempraktikkan. Biasanya mereka hanya dapat bertahan dalam lama waktu tertentu di dalam kelas. Jika konsep sudah mereka pahami atau paling tidak sudah disampaikan oleh guru, dan mereka sudah merasa penat, mereka tidak segan minta ke luar kelas untuk bermain. Karena itu, guru-guru di sekolah kami pun harus pandai-pandai mencari cara yang menarik dan menyenangkan dalam menyampaikan konsep dari suatu mata pelajaran. Bahkan tidak jarang kami belajar di luar kelas untuk menyelingi suasana belajar siswa agar lebih dekat dengan objek yang dipelajari.
Setelah kujelaskan langkah-langkahnya, secara bertahap mereka melaksanakan petunjuk sesuai lembar kerja. Diawali dengan sifat benda cair. Dengan sigap mereka memindahkan air dari satu wadah ke wadah lainnya untuk membuktikan bahwa benda cair mengikuti bentuk tempatnya. Kemudian mereka menuang air di halaman sekolah agar dapat mengamati bahwa air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Selanjutnya, membuktikan bahwa di lingkungan sekitar kita terdapat udara.
“Tahukah kalian bahwa di ruangan ini ada udara?”, pertanyaan pretest untuk mengajak mereka mengingat-ingat materi wujud benda gas yang pernah dipelajari di kelas sebelumnya.
“Ada Bu!”
“Apa buktinya?”
“Hmm...entahlah Bu”, jawaban yang biasa mereka lontarkan saat tidak bisa menjawab suatu pertanyaan. Mulanya aku merasa jengkel ketika mendengar jawaban ‘entahlah’, bagiku terdengar tidak sopan. Tapi, ternyata itu memang bahasa mereka. Jawaban ‘entahlah’ mereka ungkapkan ketika sudah tidak mampu lagi berpikir untuk menjawab suatu pertanyaan, meskipun ada juga yang kadang langsung menjawab ‘entahlah’ tanpa berpikir terlebih dahulu.
Aku mengipas rambut salah seorang muridku, “Coba perhatikan, apa yang terjadi ketika rambut Aris Ibu kipas?”. “Bergeraaak!”, jawab mereka serentak. “Nah, itu menunjukkan bahwa di ruangan ini ada udara. Ketika Ibu mengipas rambut Aris, udara di sekitar rambut Aris bergerak. Udara yang bergerak itu kemudian disebut angin. Ada yang suka main layang-layang? Kalau tidak ada angin, layang-layangnya bisa terbang tidak?”, lanjutku membawa alam berpikir mereka pada contoh yang mereka sukai.
“Tidak Bu...karena udaranya tidak bergerak!”, ternyata mereka dapat memahami konsep dengan cepat.
“Nah, anak-anak...ayo kita buktikan apakah di ruangan ini ada udara atau tidak. Coba kerjakan petunjuk kerja berikutnya!”
Mereka pun memasukkan gelas kosong ke dalam kotak makan transparan berisi air, dengan posisi tegak dan tertelungkup serta dilakukan dalam waktu singkat. Mereka dapat mengamati bahwa air tidak masuk ke dalam gelas karena di dalamnya sudah terisi udara. Masing-masing anak mencoba dan tanpa kuminta mereka memberikan apresiasi tepuk tangan bagi yang berhasil meletakkan gelas ke dalam air tanpa ada air yang masuk ke dalamnya. Suasana menjadi semakin seru ketika kutunjukkan pada mereka bahwa gelas terisi air tidak akan tumpah saat diletakkan dalam posisi terbalik hanya dengan penutup kertas HVS. Senang sekali melihat mereka dapat menyimpulkan sendiri konsep yang mereka pelajari melalui metode konstruktivisme pada praktikum hari ini*_*. Akhirnya dua jam mata pelajaran dapat dilalui tanpa ada satu pun yang meminta ke luar main pada saat pelajaran berlangsung.
Oleh: Mo Awwanah


Mencetak Generasi Unggul Ala Jepang
Kekeliruan dunia pendidikan kita selama ini terletak pada ketidakmampuan para pakar pendidikan, pendidik, bahkan pengambil kebijakan untuk mencetak generasi unggul. Generasi ini punya ciri kreatif, perekayasa, pencipta, dan bersikap atau bertingkah laku teladan. Selain berbudi pekerti luhur, generasi unggul dalam kehidupan keseharian dicirikan peduli sesama, menghargai pendapat orang lain, tertib, jujur, disiplin, bertanggung jawab, penuh kasih sayang, cinta kebersihan, keindahan dan lingkungan serta concern terhadap perdamaian.
Sayang seribu sayang, dunia pendidikan kita tampaknya masih terfokus mencetak "generasi pintar". Generasi ini lebih mengutamakan pencapaian prestasi program belajarnya dengan sasaran "mengejar ranking atau nilai NEM (nilai evaluasi murni) dan UN (ujian nasional) tinggi" atau menjadi juara lomba mata pelajaran tertentu.
Indonesia banyak melahirkan sederet juara olimpiade internasional, baik di bidang pelajaran matematika, sains, fisika, kimia maupun olahraga. Pertanyaannya, dengan mencetak generasi yang bertumpu pada logika (otak kiri) itu, apa yang bisa diharapkan demi kemajuan bangsa ke depan? Kita lupa, bangsa yang dibangun hanya dengan mengandalkan ilmu, tanpa bekal kreativitas dan moral, hanya akan menghancurkan bangsa itu sendiri.
Menurut penelitian mutakhir di AS, peran logika bagi sukses seseorang hanya 4%. Selebihnya (96%) sukses seseorang ditentukan oleh kemampuan "otak kanan" yang punya andil besar dalam hal kreativitas, imajinasi, inovasi, daya rasa, kreasi, seni, kemampuan mencipta dan merekayasa. (MI, 16/1'06) Kemampuan otak sadar manusia sendiri sebenarnya hanya 12% dari seluruh kemampuan otak manusia dan selebihnya (88%) berada di otak bawah sadar, tepatnya di otak kanan. (Quantum Ikhlas, 2007).
Inilah rahasia bangsa Jepang, Korea, China, Singapura, dan negara-negara Barat hingga menjadi bangsa maju. Belakangan hal itu mulai diketahui dan disadari pula di India, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia? Barangkali baru sebagian kecil orang memahami pentingnya pengembangan peran otak kiri bagi sebuah sistem pendidikan.
Ironis, di tengah bangsa-bangsa lain makin aktif mengembangkan model pendidikan ke arah yang lebih baik, Indonesia justru masih berkutat pada berbagai masalah kompleks. Waktu, pikiran dan tenaga kita seolah terkuras hanya untuk membahas masalah pemberantasan korupsi, karut-marutnya pelayanan publik dan masalah birokrasi yang berbelit.
Apa yang salah dengan pendidikan kita? Bukankah sejak duduk di kelas TK, SD, SMP, dan SMA siswa-siswi selain diajarkan beberapa pelajaran umum dan khusus juga tak ketinggalan selalu dicekoki pelajaran agama dan kewarganegaraan? Suasana religius pun selalu melingkupi keseharian anak-anak Indonesia. Khotbah-khotbah agama tak hanya dilakukan di tempat-tempat ibadah, namun juga di televisi, lingkungan kerja dan masyarakat.
Ini bertolak belakang dengan kehidupan nyata masyarakat kita, yang justru kurang mencerminkan nuansa kehidupan agamis. Budaya tertib dan bersih, yang diyakini sebagai bagian dari iman, terabaikan. Tatanan kehidupan masyarakat secara umum pun tidak menunjukkan kebajikan dan keteraturan.
Pelanggaran lalu lintas merupakan hal yang biasa. Budaya antre dan sopan-santun dianggap angin lalu. Kepedulian masyarakat terhadap kebersihan dan lingkungan, rendah. Banyak orang masih membuang sampah sembarangan, sementara fasilitas umum kotor dan bau. Di lain pihak, kasus-kasus perusakan lingkungan dan kriminalitas jalanan selalu menghiasi media massa setiap hari.
Dari pengalaman ketika berkunjung ke Jepang dan mencermati secara seksama sekolah dasar di negeri Sakura ini, terlihat pembiasaan sikap disiplin dan tingkah laku bermoral telah ditanamkan sejak siswa mulai masuk sekolah. Meski tak dibekali pelajaran agama, tatanan kehidupan masyarakat Jepang nyatanya lebih mapan, tertib, bermoral.
Begitu anak didik memasuki lingkungan sekolah, mereka harus rela dan sabar melepas sepatu untuk ditukar dengan sandal/sepatu khusus yang sudah disediakan di loker-loker. Ketika siswa hendak ke toilet, sandal/sepatu yang dikenakannya pun masih harus ditukar lagi dengan sandal khusus toilet yang terparkir rapi di depan pintu toilet. Ingat, usai memakainya, siswa harus mengembalikannya ke posisi semula untuk memudahkan rekan lain yang akan menggunakan selanjutnya. Meski kelihatannya sepele, namun pembiasaan-pembiasaan ini dapat menumbuhkan kesadaran pada siswa untuk bersikap sabar, bertanggung jawab, menghargai orang lain, hidup bersih dan selalu menjaga kesehatan tubuh.
Di dalam kelas sendiri, anak-anak Jepang sudah dibiasakan melayani teman-teman sekelasnya dengan menyajikan makanan secara bergiliran. Pembiasaan ini untuk menanamkan kesadaran anak-anak agar tertib, disiplin, menghargai budaya antre, rajin, penuh kebersamaan dan peduli sesama.
Di kelas-kelas sekolah Jepang banyak dipajang hasil karya siswa, baik di dinding maupun di atas rak-rak tempat tas siswa. Coraknya beraneka ragam, mulai dari karya dari barang-barang bekas dengan disain robot, mobil, dan bangunan tinggi hingga bentuk-bentuk karya lainnya yang lebih rumit.
Pembiasaan memamerkan hasil cipta karya siswa, merupakan momentum bagi siswa untuk meraih cita-cita. Lewat karya-karya tersebut, anak-anak Jepang kelak diharapkan bisa menjadi perakit mobil, robot, arsitek gedung-gedung bertingkat dan pencipta alat-alat canggih lainnya hingga menjadi kebanggaan bagi bangsanya.
Memang, kemampuan untuk berkreasi mendapat porsi besar dalam sistem pendidikan di Jepang. Sejak dini kemampuan dan kreativitas siswa digali sebesar-besarnya demi disiapkan sebagai tenaga terampil penuh kreativitas di bidang masing-masing di masa depan.
Falsafah Jepang mengatakan, "Anak-anak adalah harta karun negara". Nasib bangsa masa depan diyakini ada di pundak anak-anak mereka. Maka, negara selalu memperlakukan istimewa anak-anak Jepang, baik dibidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun perkembangan emosionalnya. Sistem pendidikan nasional Jepang pun lebih diarahkan demi kemajuan anak-anak bangsa ke depan.
Apakah kita akan terus membiarkan sistem pendidikan ini lebih bertumpu pada logika, tanpa mengutamakan penggalian kemampuan dan kreativitas seperti anak-anak Jepang? ***
Oleh Arman Andi Amirullah
Kamis, 8 Mei 2008 ( Suara Karya )
Penulis adalah staf Direktorat Pembinaan TK dan SD,
Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas.
---------------------------------------------------------------
http://re-searchengines.com/arman1208.html
Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.
Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta
-------------------------------------------------------------------
http://re-searchengines.com/nurkolis5.html
Info Muda Mendunia
Popular Posts
-
Tempat Karaoke - A place to do fun activities while indulging yourself and fill in the blanks when his quiet time. But many who make a rou...
-
Kekeliruan dunia pendidikan kita selama ini terletak pada ketidakmampuan para pakar pendidikan, pendidik, bahkan pengambil kebijakan untuk m...
-
CIRI, PERWUJUDAN DAN JENIS BELAJAR Secara teoretis belajar dapat diartikan sebagia perubahan tingkah laku, namu tidak semua perubahan tingka...
-
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekon...
-
JAKARTA, KOMPAS.com - Kembalinya urusan kebudayaan di bawah naungan Kementerian Pendidikan harus memberikan harapan baru. Penggabungan ini h...
-
Sabtu, 11 November 2011 “Ketika hidup hanya untuk meminta tanpa mau memberi, sebenarnya saat itu kita tidak hidup, melainkan telah mati sebe...
-
Kumpulan Shalat Sunnah Ditulis oleh Admin Senin, 15 Februari 2010 23:49 1. SHALAT SUNNAH WUDHU Shalat sunat wudhu atau yang disebut ...
-
“Disaat orang lain menganggap sesuatu yang kau lakukan tak mungkin berhasil, maka tetaplah maju dan jangan pernah berfikir untuk mundur wala...
-
PERIHAL ANAK BERMASALAH Definisi Anak Bermasalah Seorang siswa dikategorikan sebagai anak yang bermasalah apabila ia menunjukan gejala-g...
-
Berikut adalah 5 tanda bahwa Anda bukan jiwa sederhana, bahwa Anda disiapkan bagi peran membesarkan kehidupan: 1. Anda memiliki mimpi-mimpi ...